SEMARAKPOST | KEPAHIANG – Tidak ada asap kalau tidak ada api. Arti pribahasa ini, segala sesuatu tentu ada sebabnya. Begitu pula halnya dengan carut marutnya penggunaan APBD di Sekretariat DPRD Kepahiang tahun anggaran 2021-2023.
Sekretaris Dewan DPRD Kepahiang, Roland Yudishtira, tak menyangkal bahwa dalam menjalankan realisasi keuangan ada yang unprosedural. Namun menurutnya hal itu terjadi bermula dari sikap loyalitasnya terhadap pimpinan.
Penyidikan dugaan korupsi terkait Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK TRI 2021-2023 di lingkungan Sekretariat DPRD (Setwan) Kabupaten Kepahiang makin mengerucut. Ke mana saja aliran dana yang membuat negara berpotensi mengalami kerugian hingga Rp11,4 miliar coba dibongkar habis, eks Sekretaris DPRD ini.
Sebagaimana yang telah dijanjikan sebelumnya, eks Sekwan didampingi Penasehat Hukum Jo Joni Bastian, SH blak-blakan mengungkapkan semua kenapa bisa terjadi Tuntutan Ganti Rugi (TGR) dari BPK sejak TA 2021-2023 hingga miliaran rupiah di Setwan Kepahiang, Selasa 14 Januari 2025 petang. Ia meyakinkan pula, semua yang disampaikan sama persis sebagaimana keterangan yang telah diberikan kepada penyidik Kejari Kepahiang saat dirinya menjalani rangkaian pemeriksaan sebagai saksi.
“Seakan ada penggiringan opini, seolah Rp11,4 M TGR itu semua Sekwan yang makan. Padahal kan, tak seperti itu,” beber Roland.
Secara detil, ungkap Roland, TGR di Setwan hanya Rp3 miliaran dengan Rp1 miliaran secara periodik sudah diselesaikan. Sisanya, Rp8 miliaran merupakan TGR dari para eks Anggota DPRD Kepahiang periode 2019-2024 secara personal. Yang juga menurutnya, sebagian besar telah diselesaikan secara bertahap.
“Saya klarifikasi bukan cari pembenaran. Apa yang saya sampaikan ini, juga telah saya berikan keterangan juga kepada penyidik, selama jadi saksi. Kami sangat apresiasi kinerja penyidik Kejari Kepahiang yang intens dan profesional dalam perkara ini, yang ingin cari benang merahnya,” beber Roland.
Lantas, ke mana saja aliran dana TGR 2021-2023 di lingkungan Setwan yang jumlahnya cukup fantastis tersebut?
Sejak diangkat menjadi Sekwan Kabupaten Kepahiang pada 2019, Roland mengungkapkan sudah dihadapkan pada kondisi ketekoran kas sampai Rp700 juta di Setwan Kepahiang. Secara bertahap, dirinya yang telah diberikan amanah oleh pimpinan memegang jabatan Sekwan coba menyelesaikan dengan caranya sendiri.
Singkatnya, hingga 2020 dirinya dihadapkan pada situasi sulit. Yakni harus menyelesaikan beban keuangan dengan kondisi ketekoran kas, plus beban jabatan kepada pimpinan. Belum lagi saat itu lanjutnya, pucuk pimpinan di DPRD Kabupaten Kepahiang merupakan tangan kanan pemegang kekuasaan di Kabupaten Kepahiang.
“Kenapa ini semua bisa terjadi, saya start kerja sebagai Sekwan sudah dihadapkan dengan kondisi tekor kas Rp700 juta. Ini saya jalankan dengan beban dan permasalahan yang ada. Dalam perjalanannya ada hal-hal wajib saja jalankan, karena loyalitas, tekanan, beban dan kewajiban yang ada. Karena ini pula akhirnya menggiring kami melakukan pengeluaran bersifat unprosedural, untuk penuhi permintaan pimpinan kami. Ingat, pada 2020 ada momen besar Pilkada 2020. Saya juga ada beban melalui pimpinan kami, yang saat ini tangan kanan petinggi,” beber Roland sembari menegaskan pimpinan yang dimaksud adalah di lembaga DPRD dan pemerintahan.
Karena ini pula akhirnya BPK RI mulai mendata TGR di Setwan atas LHP 2021. “Temuan BPK 2021 itu, tak lepas dari peristiwa 2020,” kata Roland. Hingga kemudian TGR BPK terus bergulir dari TA 2021 hingga 2023, yang kemudian menjadi bahan penyidik Kejari Kepahiang melakukan penyidikan.
“Kami sangat tahu perjuangan rekan-rekan dewan yang sudah berupaya menyelesaikan TGR. Untuk saya, TGR ini terjadi karena kami dipaksa aktif melalui pimpinan saat itu, menghadapi Pilkada 2020. Polanya seperti yang baru terjadi di Pemprov Bengkulu. Karena ini pula, kami OPD sebagai pendukung utama melakukannya sebagai bentuk loyalitas. Dari sini pula temuan TGR 2021 terjadi dan tak bisa terlepas dari kejadian akhir 2020 (Pilkada,red),” beber Roland.
Ia mengungkapkan sejak 2015 sampai 2020 merupakan pendukung utama petahana saat itu, yang hingga pada akhirnya dibuat kecewa dengan status non job yang diterimanya sebagai Sekwan per 13 Desember 2024. “Janganlah kasus ini seperti ingin mengalihkan isu yang lebih besar. Sepertinya ini ingin menutupi skandal besar yang terjadi di Kabupaten Kepahiang selama ini ,” tambah Roland sembari menyebut beberapa kegiatan besar di Kabupaten Kepahiang sejak 2015.
Dalam kesempatan ini pula, ia mempertanyakan pencopotan dirinya sebagai Sekwan sejak terhitung 13 Desember 2024. Menurutnya, per hari ini (kemarin,red) secara resmi dirinya sama sekali belum menerima SK non job sebagaimana yang disebutkan selama ini.
Dirinya telah mencari tahu langsung ke BKD.PSDM dan BKD, terkait status dirinya sebagai ASN non job. “Bulan ini, saya gajian tetap menerima tunjangan selaku pejabat eselon II. Logikanya, kalau saya memang non job ya tak berhak menerima tunjangan lagi,” ujar Roland.
Jika pun sudah non job, ia mengaku tak mengetahui mendapatkan tugas sebagai apa dan di kantor mana. “Saya kan dibilang bukan Sekwan lagi, sudah non job. Tapi staf di mana?. Ya, mungkin saja pimpinan ingin cepat menonjobkan saya karena perkara TGR di Setwan ini cepat menetapkan saya sebagai tersangka. Tapi faktanya kan, saya sampai saat ini (kemarin,red) masih sebagai saksi,” tanya Roland.
Ia pun berharap sebagai pucuk pimpinan tertinggi, dirinya bersama para ASN lainnya di lingkungan Pemkab Kepahiang yang sedang mengalami persoalan hukum tak dilepaskan begitu saja. “OPD seperti anak, butuh perhatian juga dari pimpinan. Apalagi setahu saya, Pemkab kan ada LBH nya. Jangan malah sebaliknya, disebutkan Pemkab tak akan berikan bantuan hukum terkait TGR di Setwan,” pungkas Roland.(ton)