Etika Komunikasi Dan Penyebaran Konten Berbahaya

Artikel Regulasi dan Kebijakan Komunikasi

Mahasiswi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Bengkulu

Muhammad Fajri Sudanto, D2E024019

SEMARAKPOST – KEPAHIANG | Artikel | Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, termasukdi dalamnya perkembangan ilmu-ilmu sosial kemanusiaanserta media dan teknologi informasi komunikasi yang begitupesat terutama media sosial secara relatif mendekatkan jarakperbedaan budaya antara satu wilayah dengan wilayah lain.Komunikasi selalu menjadi aktivitas utama manusia, mulaidari bangun tidur hingga tidur kembali, entah itu komunikasiformal maupun komunikasi non-formal. Media sosial cukupmempengaruhi kehidupan seseorang, dengan demikianmasyarakat harus mampu menyikapi dengan bijak sehinggakemudian tidak melupakan kewajiban pada kehidupan nyata. Selain itu, manusia pun harus memenuhi etika dalampenggunaan media sosial, sehingga mendapat hal baik dan positif, minimal sebagai hiburan dan sumber informasifaktual.

Penyebaran konten berbahaya menjadi perhatian utamadalam era digital saat ini, terutama dengan diberlakukannyaUndang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ini bertujuan untukmengatur penggunaan teknologi informasi secara bertanggungjawab serta etika berkomunikasi, termasuk membatasipenyebaran konten yang bersifat merusak, seperti ujarankebencian, hoaks, dan konten yang melanggar norma hukum.

Pasal-pasal dalam UU ITE memberikan landasan hukumbagi pihak berwenang untuk menindak pelaku yang menyebarkan konten yang merugikan masyarakat. Namun, meskipun sudah ada payung hukum, fenomena penyebarankonten berbahaya masih terus terjadi secara masif. Pentinguntuk menegaskan kembali peran etika komunikasi dalammengatasi penyebaran konten berbahaya. Etika komunikasibukan hanya tentang tata cara berbicara atau menulis, tetapijuga menyangkut tanggung jawab moral dalammenyampaikan dan menyebarkan informasi.

UU ITE merupakan kerangka hukum yang mengaturberbagai aspek terkait informasi dan transaksi elektronik di Indonesia. Dengan kemajuan teknologi, keberadaan UU ITE menjadi semakin signifikan dalam menjaga keamanan dan keteraturan penggunaan dunia maya. Pemberlakuan UU ITE semakin memperjelas kewenangan pemerintah atas kontenonline, memperkuat lanskap regulasi di Indonesia. MeskipunUU ini berperan penting dalam membentuk tata kelola kontendigital, UU ini juga meningkatkan perdebatan. mengenaiimplikasinya terhadap kebebasan berekspresi dan potensipemerintah untuk melakukan tindakan yang melampaui batas.

Konten berbahaya adalah segala bentuk informasi, baikdalam teks, gambar, video, maupun audio, yang berpotensimemberikan dampak negatif terhadap individu, kelompok, atau masyarakat. Jenis konten ini biasanya melanggar norma sosial, hukum, atau etika, serta dapat menimbulkan kerugianfisik, psikologis, atau sosial. Keberadaan konten berbahayatidak hanya merusak psikologis individu, tetapi juga dapatmenciptakan konflik sosial yang lebih besar. Ujarankebencian, misalnya, dapat memecah belah masyarakat dan memicu permusuhan antar kelompok. Begitu pula denganhoaks, yang sering kali menyebabkan kepanikan atau tindakankeliru di masyarakat. Dalam banyak kasus, konten berbahayaini disebarkan dengan sengaja untuk mendapatkan keuntungantertentu, seperti perhatian publik, keuntungan finansial, ataukepentingan politik.

Berikut Undang-Undang yang mengatur tentang Informasidan Transaksi Elektronik :

a) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentangInformasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
Pasal 27: Mengatur tentang penyebaran informasiyang mengandung unsur kesusilaan, penghinaan, ataupencemaran nama baik.
Pasal 28: Mengatur tentang penyebaran beritabohong atau hoaks yang dapat menimbulkan kerugianmasyarakat.
Pasal 29: Mengatur tentang penyebaran konten yang mengancam nyawa orang lain atau membahayakanketertiban umum.
UU ITE ini memberikan dasar hukum untukmenanggulangi konten berbahaya di ruang digital.
b) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentangPenyiaran
Pasal 40: Melarang penyiaran yang mengandungunsur kekerasan, pornografi, dan diskriminasi.
Pasal 47: Mengatur mengenai penghentian siaranyang bertentangan dengan moralitas publik.
c) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentangPerubahan atas UU ITE
Revisi UU ITE memperjelas regulasi terkaitpenghinaan dan pencemaran nama baik yang disebarluaskan melalui media elektronik. Ini juga memperluas definisi konten berbahaya yang dapatdikenakan sanksi pidana.
d) Kode Etik Jurnalistik (Dewan Pers)
Mengatur standar etika bagi wartawan dalammenyampaikan informasi, memastikan bahwainformasi yang disebarkan tidak merugikanmasyarakat dan sesuai dengan moral publik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *