Menelaah Putusan Hakim Dalam Perkara Kebakaran Hutan di Areal Konsesi Izin Usaha Perkebunan PT.Kumai Sentosa di Wilayah Kabupaten Kotawaringin Barat Provinsi Kalimantan Tengah

Penulis : Pofrizal (Mahasiswa Doktoral Ilmu Hukum Universitas Jambi).

PT. KUMAI SENTOSA bergerak dalam bidang usaha perkebunan kelapa sawit bertempat di Areal Konsesi IUP (lzin Usaha Perkebunan) di Desa Sungai Cabang, pada titik koordinat S. 03° 21.651′ E 111° 51070′ dan S. 03° 19.616′ E 111° 50.079′, Kecamatan Kumai Kabupaten Kotawaringin Barat seluas 6.100 Ha (enam ribu seratus hektar), dimana lahan PT. Kumai Sentosa berada di Desa Sungai Cabang, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Prov. Kalimantan Tengah, kemudian terjadi kebakaran hutan yang pada titik koordinat S. 03° 21.651′ E111° 51.070′ dan S. 03° 19.616′ E 111° 50.079′, yang berada di Blok 41, 40, 39, 38, 37, 36, 35, 34, 33, 32 dan 31 yang merupakan lokasi pembukaan lahan (land clearing) dan penanaman kelapa sawit milik perusahaan PT. KUMAI SENTOSA.

Pada tanggal 21 Agustus 2019 pukul 16.00 WIB Telah terjadi Kebakaran Lahan di luar ring blok 41 atau di seberang Boundries (parit batas dengan Kawasan TNTP / Taman Nasional Tanjung Puting), saat itu angin berhembus kencang kearah Tenggara atau mengarah ke Blok 41 lalu pihak PT.Kumai Sentosa menghubungi Pemadam Kebakaran untuk mematikan Api dan karena angin yang kencang akhirnya Api memasuki blok 41 dan saat tim pemadam kebakaran datang, api telah berkobar membakar areal lahan Blok 41 PT. KUMAI SENTOSA, dan akhirnya api itu berhasil di padamkan oleh Tim pemadam menggunakan seluruh peralatan Pemadam kebakaran yang ada dan seluruh karyawan PT. KUMAI SENTOSA sehingga api berhasil di padamkan pada pukul 04.00 WIB tanggal 22 Agustus 2019 di Blok 39, kemudian pada siang hari tanggal 22 Agustus 2019, karena angin berhembus kencang api kembali menyala sehingga tidak dapat dipadamkan lagi oleh tim pemadam PT. KUMAI SENTOSA yang di bantu oleh seluruh karyawan PT. KUMAI SENTOSA, anggota TNI, POLRI, warga masyarakat sekitar dan BNPB, sehingga api membakar seluruh areal perkebunan PT. KUMAI SENTOSA dari Blok 41 sampai dengan Blok 31 atau seluas 2600 Ha (dua ribu enam ratus hektar), berdasarkan perhitungan kerugian akibat kebakaran lahan yang dibuat Ahli Kebakaran hutan dan lahan oleh Prof. DR. BAMBANG HERO SAHARJO, M.Agr, Total biaya yang harus dikeluarkan untuk memulihkan lahan seluas 2600 Ha (dua ribu enam ratus hektar) adalah sebesar Rp.935.735.340.000,00 (sembilan ratus tiga puluh lima miliar tujuh ratus tiga puluh lima juta tiga ratus empat puluh ribu rupiah).

Bahwa akibat kebakaran hutan tersebut telah dilakukan penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri SIpil (PPNS) Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup Balai Penegakan Hukum (Gakkum) LHK Wilayah Kalimantan Seksi Palangkaraya dan menjerat tersangka korporasi PT. Kumai Sentosa yang diwakili oleh I Ketut Supastika selaku Direktur Utama dengan Pasal 99 Ayat 1, atau Pasal 98 Ayat 1, Jo. Pasal 116 Ayat 1 Huruf a dan Pasal 119 Huruf c, Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dengan ancaman pidana penjara maksimum 10 tahun dan denda paling banyak Rp 10 miliar, kemudian Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah pada tanggal 1 April 2020 telah mengirimkan P-21 atau pemberitahuan berkas perkara lengkap, setelah penyerahan Tersangka dan Barang Bukti lalu perkara dimaksud di limpahkan ke Pengadilan Negeri Pangkalan Bun untuk disidangkan.

Jaksa Penuntut Umum dalam Tuntutanya, menyatakan bahwa Terdakwa korporasi PT. Kumai Sentosa yang diwakili oleh I Ketut Supastika selaku Direktur Utama, telah terbukti melanggar Pasal “Badan Usaha dengan kelalaiannya yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup“ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 Ayat (1) juncto Pasal 116 Ayat (1) huruf a juncto Pasal 119 huruf c Undang- Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sesuai dakwaan alternatif kedua, karena menurut Penuntut Umum menyatakan bahwa Terdakwa tidak memiliki sarana prasarana pengendalian dan pencegahan kebakaran lahan yang memiliki jumlah cukup dan memadai seperti early warning sistem, early detection system, system komunikasi, peralatan pemadaman, personil pemadam sehingga bertentangan dengan PP Nomor 4 Tahun 2001, Perarturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010, Permentan Nomor 5 Tahun 2018 serta peraturan perundangundangan lainnya.

Dengan demikian, dipastikan Terdakwa PT. Kumai Sentosa belum menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dalam upaya pencegahan dan penanganan kebakaran hutan lahan yang menjadi kewajibannya selaku pelaku usaha perkebunan, sehingga dianggap telah lalai dan menyebabkan Kebakaran Hutan di Lahan PT.Kumai Sentosa tidak dapat diantisipasi dengan baik serta dipadamkan.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pangkalan Bun dan Mahkamah Agung memberikan Putusan yang tidak sejalan dengan Penuntut Umum, menurut Hakim Terdakwa I KETUT SUPASTIKA bin I WAYAN SUKARDA tidak terbukti melakukan perbuatan materiil berupa kelalaiannya yang mengakibatkan kebakaran hutan dilahan milik PT.Kumai Sentosa sebagaimana yang di dakwakan oleh Penuntut Umum dikarenakan asal api pada awalnya berasal dari Taman Nasional Tanjung Puting dan bukan dari areal perkebunan milik PT.Kumai Sentosa atau Terdakwa, selain itu, kejadian dilokasi dimana terdapat angin berhembus kencang dari arah tenggara sehingga api kembali menyala dan tidak dapat dikendalikan oleh Tim pemadam kebakaran PT. Kumai Sentosa, sehingga terhadap kejadian tersebut termasuk kategori sebagai bencana alam karena tidak mungkin bisa diatasi dengan tenaga manusia yang disebabkan karena diluar ambang batas kemampuan manusia (seperti letusan gunung berapi, rob air laut dan banjir bandang karena curah hujan yang melebihi ambang batas pengendalian banjir), bencana alam atau force majeur merupakan alasan hukum sebagai pengecualian terjadinya akibat dikarenakan senyatanya terhadap areal perkebunan PT.Kumai Sentosa (PT KS) adalah areal yang sangat rawan terbakar dikarenakan dua faktor yaitu bahan bakar dan kondisi cuaca dan upaya pengendalian kebakaran lahan di IUP PT. Kumai Sentosa telah dilakukan tindakan yang maksimal ketika kebakaran terjadi.

Selanjutnya Jaksa Pengacara Negara dengan kuasa Subtitusi dari Jaksa Agung melakukan Gugatan gugatan dengan Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability), dengan dasar Pasal 88 UUPPLH (Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) berbunyi “ Setiap orang yang tindakannya, usahanya dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan atau yang menimbulkan ancama serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” sebagaimana telah diubah dengan ketentuan Pasal 88 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang berbunyi, “ Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya dan pada tingkat Pertama gugatan dikabulkan namun pada tingkat Banding Pengadilan Tinggi Palangkaraya sebagaimana putusan Nomor 102//PDT.G-LH/2021/PT PLK, majelis hakim mengabulkan permohonan pembanding dan Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Pangkalan Bun Nomor 39/Pdt.G/LH/2020/PN.Pbu tanggal 23 September 2021 yang dimohonkan banding, dengan pertimbangan bahwa unsur pasal Pasal 88 UUPPLH (Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup), tetap harus membuktikan asas kausalitas (sebab akibat) dan menurut pendapat Majelis Hakim penyebab kebakaran bukan karena disebabkan oleh Tergugat sehingga gugatan harus di tolak.

Selanjutnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kuasanya melakukan Peninjauan Kembali (PK) terhadap perkara dimaksud, akhirnya dalam putusan PK Mahkamah Agung Nomor 527 PK/Pdt/2023, berpendapat bahwa pertanggungjawaban mutlak (Strict Liability) pada prinsipnya sama antara apa yang diatur didalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) dengan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, karena keduanya masih tetap mengenyampingkan unsur kesalahan dalam penerapan pertanggungjawaban dan putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi Palangkaraya yang masih mempertimbangkan jika kebakaran yang terjadi di lahan Tergugat karena berasal dari Taman Nasional Tanjung Putting (TNTP) sehingga Tergugat harus dilepaskan dari tanggungjawab terhadap kerugian atau kerusakan yang terjadi, adalah pertimbangan yang keliru karena bertentangan dengan hakikat tanggung jawab mutlak itu sendiri yang tetap dianut dalam Undang Undang Cipta Kerja yang Secara Normatif tanggungjawab mutlak pada pokoknya adalah pertanggungjawaban yang dikenakan tanpa menilai adanya kesalahan.

Selanjutnya Majelis Hakim menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi materiil secara tunai kepada Penggugat melalui Rekening Kas Negara sejumlah Rp175.179.930.000,00 (seratus tujuh puluh lima milyar seratus tujuh puluh sembilan juta sembilan ratus tiga puluh ribu rupiah).

Bahwa dari uraian di atas penulis berpendapat Pertimbangan Majelis Hakim dalam putusanya, dalam perkara Pidana dan Perdata terkait Kerusakan Lingkungan Hidup belum memiliki pemahaman yang sama, terbukti dari perbedaan persefektif hakim dalam penanganan perkara Karhutla oleh PT. Kumai Sentosa baik didalam perkara pidananya yang terdapat perbedaan pertimbangan Hakim (dissenting opinion) maupun dalam perkara gugatan pertanggung jawaban Mutlak (Strict Liability) antara Majelis Hakim PN.Pangkalan Bun yang mengabulkan gugatan penggugat, yang dibatalkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Palangkaraya dan dikuatkan kembali oleh Majelis Mahkamah Agung, namun dengan putusan PK Mahkamah Agung Nomor 527 PK/Pdt/2023, telah dapat untuk dijadikan yurisprudensi untuk penanganan perkara-perkara Karhutla selanjutnya tanpa harus membuktikan kesalahan Tergugat terlebih dahulu dan kedepanya di harapkan akan ada politik atau paradigma pertanggung jawaban Mutlak (Strict Liability) di dalam perkara Pidana agar memiliki daya paksa dan berdampak efek jera yang lebih maksimal untuk kelesatrian lingkungan berkelanjutan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *