Ganja, Tetap Dilarang Atau Dilegalkan?

SemarakPost.Com | Artikel – Tahukah Anda? Jenis narkotika yang paling banyak disalahgunakan di dunia adalah ganja. Menurut UNODC, sebanyak 192 juta penduduk dunia menggunakan ganja. Sedangkan berdasarkan hasil survei BNN pada tahun 2019, terdapat 65,5 persen penyalahguna narkotika di Indonesia menggunakan ganja. Sisanya penyalahgunaan narkotika dari jenis methamphetamine (sabu), ekstasi, pil koplo dan obat-obatan dari golongan benzodiazepine.

Dikutip dari sumsel.bnn.go.id, pada awal Desember 2020 lalu, dunia sempat digemparkan dengan keputusan PBB yang melegalkan ganja. Alasan legalisasi ini tentunya untuk tujuan medis. PBB merestui rekomendasi WHO untuk menghapus tanaman ganja dari obat terlarang dan paling berbahaya menjadi obat alternatif yang diperbolehkan, sehingga orang boleh memanfaatkan ganja untuk tujuan pengobatan. Namun, legalisasi ganja ini bukan berarti setiap orang bebas menggunakan ganja. Pemanfaatan ganja untuk pengobatan tetap diatur dan dikontrol oleh undang-undang.

Meskipun WHO baru resmi melegalkan ganja sebagai obat, sebelum itu sudah ada beberapa negara yang melegalkan penggunaannya seperti Uruguay, Kanada, Inggris, Peru, Amerika Serikat, Siprus, Israel, Jerman, Italia, Chile, Belgia, Spanyol, Meksiko, Ekuador, dan Belanda. Bahkan Belanda tidak hanya melegalkannya sebagai obat, negara ini juga mengijinkan kedai-kedai kopi menyediakan ganja untuk kepentingan rekreasi, tentunya dengan ketentuan dan syarat yang sangat ketat.

Di Indonesia, ganja masih menjadi salah satu jenis narkotika yang masih dilarang digunakan sebagai obat. Hal ini tertuang dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang memasukkan ganja ke dalam narkotika golongan I. Narkotika golongan I adalah narkotika yang dilarang digunakan untuk kepentingan kesehatan namun hanya boleh digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jadi, ganja sama sekali ilegal di negara kita.

Ganja atau dikenal juga dengan chimeng memiliki nama latin Cannabis. Ganja berupa tumbuhan berbunga dari famili Cannabaceae yang biasanya tumbuh di daerah pegunungan tropis dengan ketinggian di atas seribu meter di atas permukaan laut. Daunnya berbentuk menjari dan bunganya kecil-kecil dengan dompolan di ujung ranting. Di Indonesia, ganja banyak tumbuh di daerah pegunungan wilayah provinsi Aceh.

Tanaman ganja juga dikenal dengan istilah rami. Dahulu masyarakat menggunakan serat rami ini sebagai bahan dasar pembuatan pakaian. Di Aceh sendiri, daun dan biji ganja secara umum digunakan oleh penduduk lokal sebagai bahan tambahan dalam kopi atau penyedap masakan. Masakan yang ditambahkan daun ganja dipercaya dapat meningkatkan nafsu makan.

Ada tiga spesies murni ganja yang dikenal yaitu Cannabis Sativa, Cannabis Indica, dan Cannabis Ruderalis. Perbedaan ini terletak dari struktur morfologi tanamannya. Cannabis Sativa memiliki pohon yang paling tinggi, bisa mencapai 4-5 meter dengan ruas daun yang panjang dan bercabang. Cannabis Indica memiliki pohon yang lebih pendek dari Sativa dan lebih tinggi daripada Ruderalis. Indica memiliki ruas daun menjari yang lebih lebar, sedangkan Sativa memiliki ruas daun yang lebih ramping. Ada juga Cannabis jenis hibrida yang merupakan persilangan dan rekayasa genetika dari ketiga jenis murni ganja tersebut.

Penggunaan ganja dengan dosis berlebih dan tak terkendali dapat menimbulkan ketergantungan. Hal ini dikarenakan ganja mengandung zat psikoaktif yang juga dapat membuat penggunanya mengalami penurunan atau perubahan kesadaran. Zat psikoaktif yang terkandung dalam ganja adalah THC (tetrahydrocanabinol) dan CBD (cannabidiol). Kombinasi persentase kedua zat ini juga berbeda di ketiga jenis ganja murni yang ada. Cannabis Sativa memiliki kandungan THC lebih tinggi dibandingkan THC yang terdapat dalam C. Indica. Sedangkan kandungan CBD dalam C. Indica lebih tinggi daripada CBD dalam C. Sativa.

THC dalam ganja dengan cepat mempengaruhi kinerja otak manusia ketika ia menghirup asap yang dihasilkan dari pembakaran ganja. Asap yang terhirup ke paru-paru dapat masuk ke peredaran darah. Darah yang mengandung THC akan dibawa ke otak dan organ tubuh lainnya. Efeknya dapat dirasakan secara jangka pendek maupun jangka panjang. Efek jangka pendek akan dapat dirasakan setelah 30 menit sampai 1 jam setelah penggunaan.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh National Institute of Drugs Abuse, THC dapat mengganggu kinerja sebagian besar area di dalam otak yang mengatur persepsi, sensasi, koordinasi, penglihatan, memori, keseimbangan, dan juga kemampuan dalam pengambilan keputusan. Kondisi inilah yang sering disebut dengan istilah “ngefly” atau “high”. Dalam kondisi ini, seorang pengguna ganja akan mengalami perubahan sensasi misalnya melihat sesuatu yang berwarna tampak lebih terang warnanya, perubahan orientasi waktu, suasana hati, pergerakan tubuh yang tidak selaras, gangguan ingatan, kesulitan berpikir maupun memecahkan masalah. Jika ganja digunakan dengan dosis yang tinggi dapat menyebabkan halusinasi dan delusi. Bahkan yang lebih parahnya dapat memunculkan gejala psikosis (gangguan jiwa) jika terlalu sering digunakan dengan dosis yang berlebih.

Ganja juga dapat mempengaruhi perkembangan otak jika digunakan dalam jangka waktu yang lama. Seseorang yang menggunakan ganja sejak remaja dapat mengalami penurunan kemampuan berpikir, memori serta fungsi belajar. Jika seorang remaja sudah terpapar ganja maka dia akan kehilangan kemampuan untuk belajar. Padahal kemampuan belajar dan berpikir sangat diperlukan seorang remaja dalam proses penggalian potensi dan jati dirinya untuk mempersiapkan diri menjadi mandiri saat usia dewasa nanti.

Selain dapat mempengaruhi kinerja otak, ganja juga dapat mempengaruhi kesehatan organ fisik lainnya. Ganja dapat menyebabkan masalah pernapasan, meningkatkan detak jantung, masalah dalam perkembangan dan pertumbuhan janin, serta mual dan muntah yang berkepanjangan. Dampak yang dihasilkan dari asap pembakaran ganja juga sama halnya dengan asap rokok tembakau yaitu dapat merusak paru-paru bahkan menimbulkan kanker.

Selain merusak organ pernapasan dan jantung, rupanya ganja juga berbahaya bagi ibu hamil. Ganja yang digunakan seorang ibu selama masa kehamilan dapat menyebabkan berat badan lahir rendah, terhambatnya perkembangan otak, dan perilaku yang bermasalah pada bayi. Anak yang telah terpapar ganja sejak masih dalam kandungan akan memiliki kecenderungan yang lebih besar menjadi anak dengan gangguan perhatian. Sejumlah penelitian juga menemukan bahwa THC yang terkandung dalam ganja ternyata dapat tersekresi ke dalam air susu ibu. Ini artinya jika seorang bayi memiliki seorang ibu penyalahguna ganja dan menyusu pada ibunya maka besar kemungkinan bayi tersebut juga terpapar ganja.

Itulah beberapa efek negatif yang dapat ditimbulkan oleh zat psikoaktif THC dalam ganja. Meskipun masih terus dikembangkan penelitian mengenai manfaat-manfaat ganja untuk pengobatan, tetap saja masih banyak yang menyalahgunakan tanaman ini tidak sekedar untuk pengobatan. Pengguna ganja sebagai obat pun ada yang tetap ketergantungan dengan ganja karena pengaruh zat psikoaktifnya dan dampaknya secara jangka panjangpun tidak sebanding dengan manfaat yang didapat. Dengan demikian, tampaknya perlu pertimbangan yang cukup dalam jika ingin menjadikan ganja sebagai tanaman obat yang legal di Indonesia. Selain dampak negatif yang ditimbulkan cukup serius, kondisi sosial masyarakat, penegakan hukum, regulasi dan kontrol terhadap penggunaan narkotika di Indonesia juga perlu dipertimbangkan.

Ditulis oleh Ratna Puspitasari, S.Psi.

Penyuluh Narkoba Ahli Pertama BNNP Sumsel.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *