SemarakPost.Com | Jakarta – Baku tembak terjadi antara dua orang polisi, yakni Brigadir Nopryansah Yosua Hutabarat alias Brigadir J dan Bharada E.
Dikutip dari kompas.com, peristiwa berdarah itu terjadi di rumah dinas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Mabes Polri, Irjen Ferdy Sambo, yang terletak di Duren Tiga, Jakarta Selatan, Jumat (8/7/2022).
Brigadir J tewas dalam kejadian tersebut, sedangkan Bharada E diamankan.
Hingga kini, proses penyelidikan lebih lanjut terus dilakukan oleh pihak kepolisian, guna mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada Jumat (8/7/2022) sore itu.
Berbagai pihak juga menilai ada banyak kejanggalan dalam kasus ini, mulai dari kronologi yang berubah, CCTV di lokasi mati, jarak yang cukup lama antara waktu kejadian dan pengungkapan, dan masih banyak lagi.
Meski belum dapat dipastikan apa sesungguhnya motif di balik aksi tembak dua anggota Polri ini, namun sederet dugaan muncul. Apa saja?
1. Dugaan luka-luka sayatan akibat senjata tajam
Brigadir J diketahui mendapatkan luka tembak sehingga menyebabkannya meninggal.
Namun, pihak keluarga menemukan luka-luka sayatan diduga terkena senjata tajam di jasad Brigadir J.
Bahkan, dua ruas jarinya pun ditemukan putus.
Korban juga disebutkan mengalami luka senjata tajam di bagian mata, hidung, mulut, dan kakinya.
Namun, terkait luka sayatan itu, pihak Kepolisian hanya mengatakan itu terjadi akibat proyektil yang ditembakkan oleh Bharada E.
“Iya, itu sayatan itu akibat amunisi atau proyektil yang ditembakan Bharada E,” ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan, dikutip dari Kompas.com, Selasa (12/7/2022).
2. Dugaan pelecehan terhadap istri Ferdy Sambo
Berdasarkan kronologi yang disampaikan oleh Ramadhan, Brigadir J sempat masuk ke kamar Kadiv Propam.
Saat itu, istri dari Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, sedang ada di dalam kamar.
Brigadir J disebutkan melakukan tindakan pelecehan serta menodongkan senjata pistol ke kepala Putri.
“Itu benar melakukan pelecehan dan menodongkan senjata dengan pistol ke kepala istri Kadiv Propam, itu benar,” kata Ramadhan.
Akibat kejadian yang dialaminya, Putri disebut telah melaporkan pada penyidik Polres Metro Jakarta Selatan.
Namun, keterangan yang disampaikan Putri Candrawathi belum detail, karena ia masih dalam kondisi syok dan belum stabil, dikutip Kompas.com, Kamis (14/7/2022).
3. Dugaan dari tim gabungan
Untuk mendalami kasus ini, Polri membentuk tim gabungan.
Atas dibentuknya tim ini, pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel menduga ada hal lain yang melatarbelakanginya.
Dugaan itu muncul karena kasus ini melibatkan sesama anggota kepolisian. Semestinya Polri tidak sulit untuk menginvestigasi personelnya sendiri.
Dalam kajian psikologi forensik, terdapat fenomena code of silence atau kode keheningan.
Menurut Reza, code of slience ditandai oleh kecenderungan polisi untuk menutupi kesalahan sesama kolega, baik itu melindungi atasan, menjaga nama baik institusi, atau memastikan kepercayaan masyarakat.
Sayangnya, kata Reza, tujuan baik itu kerap dilakukan dengan cara keliru dengan code of silence.
“Itu yang saya tafsirkan. Bahwa untuk menginvestigasi di lingkup internal pun polri seolah saat ini tidak lagi sepenuhnya diyakini oleh masyarakat,” ujar Reza.
Menurut Reza, pembentukkan tim gabungan masuk akal apabila ada korban sipil atau pun melibatkan pihak luar institusi. Namun, Reza melihat pihak yang terlibat sejauh ini seluruhnya adalah personel polisi.
4. Potensi rekayasa fakta peristiwa
Diketahui, kepolisian baru mengungkap kematian Brigadir J 12 jam setelah kejadian.
Rentang waktu yang cukup panjang itu dinilai oleh kriminolog, Ferdricka Nggeboe sangat memungkinkan dilakukan rekayasa fakta peristiwa sesuai dengan keinginan aktor intelektual.
Termasuk pelaku, tempat kejadian perkara dan saksi bahkan fakta peristiwa bisa berubah sampai 360 derajat.
“Dalam kasus Brigadir J, rentang waktunya cukup jauh ya. Lebih dari 12 jam. Artinya segala kemungkinan bisa terjadi,” kata Ferdricka.
5. Brigadir J sebagai korban pembunuhan
Masih menurut Fredricka, secara kriminologi fakta-fakta yang muncul ke publik saat ini baru 5 persen.
Sehingga, jika hanya mengacu pada kronologi yang disampaikan Polri kemudian masyarakat melabeli Brigadir J sebagai pelaku pelecehan seksual, hal itu sama sekali tidak bisa dibenarkan.
“Peluang perubahan dari pelaku ke korban murni terbuka lebar, akurasinya bisa 100 persen dapat berubah dari yang ada di publik saat ini,” kata dosen Universitas Batanghari ini.
Sebaliknya, untuk saat ini publik semestinya memposisikan Brigadir J sebagai korban pembunuhan. Karena kisah di lokasi kejadian belum diketahui secara utuh. (red)