SemarakPost.Com – Pada tahun 2010 Sri Suratmi (19 tahun) warga Desa Sumbojo, Kecamatan Tulio Kabupaten Batang Jawa Tengah dituntut satu bulan penjara dengan masa percobaan dua bulan karena persoalan mecuri buah randu sebanyak 14 Kg milik PT. Sugayang. Sedangkan pada tahun 2009 Nenek Minah (80 tahun) warga Dusun Sidoharjo Desa Darmakradena Kecamatan Aji Barang Kabupaten Banyumas divonis hukuman percobaan penjara satu bulan lima belas hari karena persoalan mencuri tiga biji buah kakao milik PT. Rumpun Sari Antan (RSA). Perkara-perkara kecil dan bersifat ringan yang dicontohkan tersebut sesungguhnya hanya fenomena “gunung es” yang kebetulan mendapat atensi masyarakat. Mengingat kenyataan sesungguhnya ada ratusan perkara sejenis yang diadili sampai ke pengadilan seluruh Indonesia.
Salah satu unsur penegak hukum yang paling banyak disorot terkait kondisi tersebut adalah Jaksa dalam kapasitasnya sebagai Penuntut Umum. Banyaknya perkara kecil, bersifat sederhana serta dilakukan oleh pelaku berusia lanjut yang sampai ke pengadilan menunjukkan penuntut umum lewat fungsi prapenuntutan yang dimilikinya telah gagal mengemban peran sebagai pengendali perkara dalam sistem peradilan pidana yang dikenal universal sebagai sebagai dominus litis. Realita adanya praktek penegakan hukum tersebut kemudian menimbulkan asumsi masyarakat bahwa hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Asumsi masyarakat yang demikian tentu tidak dapat dipersalahkan walaupun pada dasarnya dalam perspektif penegakan hukum yang beraliran positivistik tidak juga sepenuhnya benar.
Realitas hukum di Indonesia yang dekat dengan sistem civil law cenderung yuridis formal dan banyak di dominasi oleh hukum peninggalan kolonial Belanda. Dimana hukum dipandang dengan yang sangat positivistik dipahami sebatas
aturan-aturan tertulis dengan tetap mengedepankan kebenaran dan keadilan formal prosedural. Dalam cara pandang demikian hukum dimaknai dari apa yang tertulis dalam sebuah peraturan perundang-undangan yang diproduk oleh penguasa yang memiliki otoritas atasnya.Realitas postivistik tersebut juga dominan mempengaruhi cara pandang mayoritas penegak hukum termasuk di Indonesia termasuk jaksa yang cenderung menegakkan hukum semata-mata untuk menegakkan kepastian menurut peraturan perundangan yang berlaku.
Cara berhukum yang demikian pada dasarnya jauh dari cita hukum Pancasila yang merupakan nilai-nilai dasar dalam kehidupan bernegara termasuk sebagai nilai-nilai dasar penegakan hukum pidana. Dalam konsep keadilan Pancasila maka manusia adalah aspek ontologis yang merupakan hakekat dari pelaksanaan kehidupan bernegara. Penegakan hukum yang cenderung kaku dengan mengedepankan kepastian yang mengabaikan aspek kemanusiaan tentu tidak dapat mendasari bekerjanya hukum yang berkeadilan. Praktek penegakkan hukum dengan cara mengabaikan realitas fungsinya dalam kehidupan masyarakat maka akan menjadikan hukum menjadi kering karena dilepaskan dari konteks dan dimensi manusia dan hanya merupakan susunan kata-kata yang tidak mempunyai makna dalam kehidupan masyarakat.
Terkait permasalahan tersebut maka tulisan ini akan mencoba membahas persoalan bagaimana melakukan optimalisasi kewenangan jaksa dalam melaksankan fungsi prapenuntutan agar dapat melakukan penegakan hukum pidana yang sesuai dengan tujuan hukum yang ideal dengan pendekatan filasafat hukum progresif.
Filsafat hukum progresif sebagai pendobrak positivisme hukum.
Potret penegakan hukum yang menimpa Sri Suratmi dan Nenek Minah yang dijabarkan pada pendahuluan tulisan ini adalah potret kegagalan cara berpikir hukum modern yang cenderung menggunakan paradigma positivistik. Melihat situasi demikian, Satjipto Rahardjo menelorkan satu gagasan yang ditawarkannya untuk menjawab persoalan-persoalan itu. Gagasan itu diberi nama hukum progresif. Teori ini hadir dari kegagalan hukum modern yang didasari oleh filsafat positivistik
dan legalistik yang cenderung menerapkan hukum sudah layaknya mesin, robot dan mekanika sehingga tidak lagi berdimensi tujuan sosial dan norma sosial yang diyakini sebagai dasar fundamental cara berhukum. Oleh karena nya, melalui hukum progresif, berusaha menjawabnya sebagai persoalan manusia dan kemanusiaan. Teori hukum progresif datang filosofi bahwa hukum diciptakan untuk manusia dan bukan manusia yang diciptakan untuk hukum.
Berdasarkan filosofi tersebut, maka hukum progresif tidak dapat menerima jika hukum dipraktekan sebagai sebuah institusi yang kaku dan final. Keberfungsian hukum sangat bergantung dari seberapa kemampuannya untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan hidup manusia. Asumsi yang sangat kontras dengan asumsi hukum modern itu membuat banyak orang mengatakan bahwa hukum progresif merupakan koreksi terhadap kelemahan-kelemahan hukum modern yang sarat dengan birokrasi.
Oleh sebab itulah maka titik tolak teori ini berangkat dari manusia dengan seluruh sifat kemanusiaannya yang butuh alat untuk menjabarkannya dalam praktek kehidupan sehari-hari. Alat itulah yang kita sebut dengan hukum. Alat yang digunakan tentunya akan menyesuaikan dengan kebutuhan dari manusia yang sangat dinamis, maka hukum dalam perspektif ini menemukan alasannya untuk juga harus bersifat dinamis. Dengan dinamika yang linear antara kebutuhan manusia dan hukum, senyata nya hukum progresif memiliki sifat kritis dan fungsional yang tidak pernah berhenti melihat kelemahan-kelemahan dari hukum untuk menemukan alternatif jawaban dari kelemahan itu sehingga terciptalah tujuan hukum progresif dalam mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.
Berdasarkan pemahaman ini maka hukum progresif sesungguhnya adalah menyangkut tentang sistem hukum sekaligus peran penegak hukum. Kehadiran hukum progresif diharapkan mampu memperluas cakrawala aparat penegak hukum untuk memandang hukum secara luas hingga pada aspek substansial. Untuk mewujudkan penegakan hukum progresif tersebut dibutuhkan keseimbangan antara sistem yang progresif dibarengi dengan penegaknya yang juga harus progresif. Penegakan hukum yang progresif tersebut dipraktekkan dengan tidak hanya mengedepankan aturan perundang-undangan (rule) tetapi juga bergantung
pada moral aparat penegak hukumnya. Dalam konsep fisalafat hukum progresif maka penegak hukum diharapkan berani menggali mengedepankan keadilan substantif dan tidak terkekang atas aturan prosedural. Hal ini ditujukan untuk mencapai keseimbangan antara kepastian, kebermanfaatan dan keadilan.
Penerapan fungsi prapenuntutan dalam hukum positif Indonesia.
Menurut Barda Nawawi Arief kekuasaan kehakiman dibidang penegakan hukum pidana merupakan sebuah sistem yang terdiri dari kekuasaan penyidikan, kekuasaan penuntutan, kekuasaan mengadili dan kekuasaan eksekusi pidana yang kemudian biasa dikenal sebagai sistem peradilan pidana yang terpadu (intergrated criminal justice system). Sebagai sebuah sistem maka keterpaduan, keserempakan dan keselarasan antar lembaga penegak hukum yang ada dalam sistem tersebut sangat diperlukan untuk mencapai tujuan penegakan hukum pidana yang bermuara pada pencapaian keadilan.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terjadi diferensiasi fungsional dalam sistem peradilan yang menimbulkan pemisahan yang tajam antara proses penyidikan dan penuntutan. Salah satu bentuk upaya mewujudkan sinkronisasi dalam kerangka asas diferensiasi fungsional antara penyidikan dan penuntutan maka terdapat mekanisme prapenuntutan sebagai jembatan penghubung. KUHAP tidak mengatur secara ekplisit pengertian prapenuntutan, pengaturan secara eksplisit justru ditemukan dalam Peraturan Jaksa Agung (Perja) Nomor PER-36/A/JA/09/2011 tentang Standar Operasional Prosedur Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum yang mengatur sebagai tindakan Penuntut Umum untuk mengikuti perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulai penyidikan dari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut lengkap atau tidak.
Namun sayangnya dalam praktek, fungsi prapenuntutan masih diterapkan oleh penuntut umum secara legalistik formil sehingga cenderung menempatkan
penuntut umum terjebak dalam kerangka berifikir yang positivistik. Penelitian dan koordinasi hasil penyidikan berkutat hanya pada masalah kelengkapan formil-materil penyidikan. Kelengkapan formil dimaknai terkait segala sesuatu yang berhubungan formalitas/persyaratan tata cara penyidikan yang harus dilengkapi antara lain : ada tidaknya surat perintah, ada tidaknya berita acara dalam tindakan penyidikan, ada tidaknya izin/persetujuan ketua pengadilan terhadap setiap tindakan upaya paksa oleh penyidik. Sedangkan kelengkapan materil dimaknai sebagai kelengkapan informasi data, fakta dan alat bukti yang diperlukan bagi kepentingan pembuktian dengan kriteria yang dirumuskan dalam pertanyaan apa yang terjadi, siapa pelaku, siapa yang melihat, mendengar, mengalami peristiwa, dimana perbuatan dilakukan (locus delicti), kapan perbuatan dilakukan (tempus delicti), apa akibat yang ditimbulkannya, serta apa akibat yang hendak dicapai dalam perbuatan tersebut. Semua proses penelitian oleh penuntut umum tersebut kemudian dituangkan dalam lembaran berita acara yang sudah dibakukan dalam format check list yang diajukan secara berjenjang kepada pimpinan satuan kerja Kejaksaan untuk mendapatkan persetujuan menyatakan hasil penyidikan layak untuk diteruskan ke pengadilan.
Optimalisasi kewenangan prapenuntutan dihubungkan dengan filsafat hukum progresif.
Mengacu pada penjelasan terkait penerapan fungsi prapenuntutan tersebut, maka dapat disimpulkan jaksa sebagai penuntut umum masih menerapkan penegakan hukum yang cenderung positivistik dan sempit. Cara berhukum yang demikian pada dasarnya jauh dari cita hukum Pancasila yang merupakan nilai-nilai dasar dalam kehidupan bernegara termasuk sebagai nilai-nilai dasar penegakan hukum pidana. Dalam konsep keadilan Pancasila maka manusia adalah aspek ontologis yang merupakan hakekat dari pelaksanaan kehidupan bernegara. Penegakan hukum yang cenderung kaku dengan mengedepankan kepastian yang mengabaikan aspek kemanusiaan tentu tidak dapat mendasari bekerjanya hukum yang berkeadilan. Tanpa mengedepankan rasa keadilan menurut Gustav Radbruch pada hakekatnya penegakan hukum baru memenuhi sebahagian dari tujuan hukum. Mengingat selain kepastian ada dua nilai dasar lain dari tujuan hukum yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja dalam penegakan hukum yaitu nilai keadilan dan kemanfaatan.
Ketiga nilai dasar tersebut dalam prakteknya kadang menimbulkan ketegangan satu sama lain apabila dihadapkan dalam kasus konkret. Aparat penegak hukum sering mengalami kegamangan dalam menentukan nilai hukum mana yang harus didahulukan untuk diterapkan sebagai prioritas. Menurut Radbruch sendiri jika terjadi ketegangan antara nilai-nilai dasar tersebut maka prioritas yang harus didahulukan adalah nilai keadilan. Atau jika penegak hukum mengedepankan kepastian hukum, maka kepastian hukum tersebut pun, harus berdimensi keadilan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Dari aspek legal substansial, sesungguhnya jaksa telah memiliki perangkat peraturan perundangan yang cukup untuk bertindak progresif dalam menjalankan fungsi prapenuntutan. Hal tersebut mengacu pada ketentuan pasal 8 ayat 4 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Pada pasal tersebut diayatakan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dengan mengindahkan normanorma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat. Pengaturan tersebut dapat ditafsirkan sesungguhnya politik hukum negara telah mengarahkan jaksa agar bersikap progresif dengan kewajiban untuk tidak hanya memandang hukum secara sempit namun juga dalam menjalankan tugas dan kewenangannya wajib menggali rasa keadilan yang hidup ditengah masyarakat. Ditambah lagi ketentuan Pasal 139 KUHAP tidak membatasi persyaratan bagi penuntut umum untuk dapat atau tidaknya suatu perkara dilimpahkan ke pengadilan. Namun sayangnya keberadaan peraturan tersebut seringkali tidak dibarengi budaya hukum jaksa. Budaya hukum tersebut menyangkut keberanian, kreativitas jaksa untuk memaknai dan menerapkan kedua peraturan tersebut secara progresif. Dalam menerapkan kedua peraturan tersebut jaksa terkesan masih ragu-ragu, malu-malu dan seringkali bersifat pasif dengan dalih masih mengharapkan petunjuk lebih lanjut dari
pimpinan. Struktur birokasi komando dengan doktrin jaksa adalah satu dan tak terpisahkan (en een ondelbar) terkadang dimaknai secara negatif oleh jaksa sendiri, dalih birokrasi selalu jadi penghambat untuk memandang hukum secara lebih luas. Sikap yang demikian kemudian mereduksi peran penuntut umum dalam kapasitasnya sebagai pengendali perkara (dominus litis). Padahal fungsi prapenuntutan yang dilandasi hukum progresif akan sangat optimal dan efektif dalam “menyaring” perkara yang masuk ke pengadilan untuk mewujudkan keseimbangan tujuan hukum yang tidak melulu kepastian, namun juga keadilan dan kemanfaatan.
Dengan fungsi prapenuntutan berbasis hukum progresif maka tidak ada lagi Sri Suratmi dan Nenek Minah lainnya yang harus menghadapi perkara sederhana sampai ke Pengadilan. Jaksa akan menjadi alat penyeimbang yang optimal dalam sistem peradilan pidana dan tidak lagi dianggap hanya sekedar “tukang pos” perkara untuk diteruskan ke pengadilan. Dengan demikian apa yang diharapkan oleh Jaksa Agung Burhanuddin yang selalu disampaikan dalam setiap kesempatan untuk selalu menggunakan “hati nurani” dalam menjalankan tugas dan kewenangan sesungguhnya akan sangat bermakna apabila diterapkan dengan menggunakan pendekatan filsafat hukum progresif. (Riky Musriza)