SemarakPost.Com – Kasus-kasus besar seperti skandal BLBI, Bank Century, Kasus Dana Bansos di Kementerian Sosial, Kasus Jiwasraya dan Asabri,, kebijakan PCR di era Pandemi, dan kasus lain yang tidak dapat ditulisan satu persatu dalam tulisan ini sering menimbulkan tanya di dalam masyarakat awam yang kadang bertanya mengapa Negara hukum” seolah-olah” di posisi lemah (the weak rule of law) karena dirasa belum mampu mendatangkan keadilan !. Kasus-kasus besar tersebutpun tidak terselesaikan secara tuntas dan terang benerang , namun pada posisi lain kasus-kasus kecil seperti nenek Minah yang mengambil kakao di perkebunan di Jawah Tengah, atau kasus pencuri sendal di Mesjid yang begitu mudah diselesaikan dengan hukum dan pelakunya pun dihukum menambah catatan bagaimana sebenar kasus white color crime dan Blue Color Crime tersebut dibenturkan sedemikian rupa oleh masyarakat dibahas, dipertanyakan, didiskusikan serta dianalisasi dalam berbagai aspek oleh masyarakat yang pada akhirnya pertanyaannya pun mengurucut sudahkah hukum mendatangkan keadilan di Indonesia ?.
Dapatkah hukum mewujudkan keadilan sebagai cita utamanya dalam masyarakat yang kian kompleks serta modern ini? pertanyaan itu semakin hari semakin sulit untuk terjawab. Pluralitas yang dihasilkan oleh modernitas dan globalisasi yang dinamis membawa kehidupan manusia dan masyarakat semakin berpresfektif rumit dan berkepentingan individul. Egoistis yang kadang di wakilkan dengan kepentingan pribadi dan kelompok menjelma dalam produk yang dikatakan peraturan/hukum. Jika demikian dimanakah kita mencari hukum yang berkelindan dengan keadilan?. Bahkan sorang filsufpun mengatakan bahwa hukum yang ditujukan untuk mencapai keadilan itu pada akhirnya adalah rumusan manusia juga, jadi bisa saja salah, sehingga tidak lah mungkin kita mengharapkan keadilan sempurna di dunia ini. Barang siapa yang bersikeras menghendaki keadilan yang sempurna, dia harus mencarinya di alam yang lain (Bernd Ruthers.2005:2-3). Jadi barang siapa yang ‘bersunguh-sunguh mencari keadilan’ adalah sungguh-sungguh mirip orang yang mencari kucing hitam yang tidak ada dalam ruang yang gelap yang juga tidak eksis. Meskipun begitu kita tidak harus berhenti, untuk mencari dan berusaha untuk mencapai apa yang kita pandang sebagai ‘adil’ maka dari itu kita harus menghindari usaha untuk memutlakkan gagasan ‘keadilan’ seperti banyak dilakukan oleh individu, masyarakat dan negara sekarang ini.
Hukum berkelindan dengan keadilan? Pertanyaan ini mungkin agak sulit di jawab karena betapa keadilan itu bisa berwajah dan bermakna jamak. Maka sesorang harus mempunyai visi yang harus jelas mengenai muatan keadilan. Jika kita hendak membuat hukum itu bisa berfungsi maksimal, paling tidak dalam komunitas tertentu. Kondisi ini diperlukan karena hukum yang tidak mendatangkan keadilan akan menafikkan eksistensinya
sendiri. Dengan kata lain suatu negara yang tidak mendatangkan keadilan tidak usah menyebut dirinya sebagai negara (what are states without justice but robber -bands enlarged?) seperti yang dikemukan oleh Aurelius Augustinus . Jika kita melihat kenyataan di tengah masyarakat dewasa ini sangat sulit untuk menghubungkan hukum dengan keadilan karena antara hukum dan keadilan itu bersifat independent. Namun secara teoritik jawaban yang dihasilkan akan menjawab bahwa suatu keharusan bahwa hukum harus menciptakan dan bersekutu dengan keadilan. Cita-cita kearah hukum yang bermanfaat, hukum yang baik, hukum yang pasti, hukum yang bijak, hukum yang adil, hukum yang benar, dan semua yang ada di dunia ideal manusia adalah hal yang harus juga di wujudkan di dunia nyata.
Kalau lah kita melihat Indonesia sekarang ini yang memiliki kecenderungan pada aliran positivisme maka memiliki presfektif setiap norma hukum haruslah eksis dalam alamnya yang objektif sebagai norma-norma yang positif yang ditegaskan sebagai wujud kesepakatan kontraktual yang kongkrit antara warga masyarakat (atau wakil-wakilnya) . hukum tidak lagi harus di konsepkan sebagai asas-asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan ius yang telah mengalamin positivisasi sebagai lege atau lex, guna menjamin kepastian mengenai ‘apa yang terbilang hukum’dan apa pula yang sekalipun normative harus dinyatakan sebagai hal-hal yang bukan terbilang hukum. Maka sesuatu hal yang dikatakan adil itu harus dilakukan positivisasi. (Sutandtyo Wignjosoebroto, 2000:13) padahal positivisme hukum menyimpan resiko ketidak adilan yang signifikan dan laten.
Hukum harusnya mendatangkan keadilan namun kenyataannya hukum selalu terkendala oleh pilihan yang dihadapi manusia yang pada akhirnya manusia juga yang harus membuat pilihan yang harus diambil. Hukum bisa dikatakan menjelma dalam bentuk keadilan jika dia berhasil menjaga orang banyak dapat mewujudkan kepentingannya masing-masing secara manusiawi, dalam arti secara damai dan tidak mewujudkan kepentingannya sendiri sambil menginjak kepentingan orang lain. Namun seringkali kita melihat hukum ternodai dengan apa yang dinamai ‘kepentingan’ ini. Jika hukum diartikan dengan perlindungan terhadap kepentingan namun dalam banyak peristiwa dan kejadian hukum terpaksa dan dipaksa harus memilih di antara beberapa kepentingan yang saling bertentangan satu sama lain. Hal ini bahkan perlindungan kepentingan terhadap yang satu seringkali berarti mengorbankan kepentingana yang lain. Hal ini merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Hukum kadang hanya mengajukan rumusan-rumusan normative yang merupakan hasil pertimbangan kesepakatan/consensus serta logika manusia kadang hukum lupa menjelma dan dibumbui dengan pertimbangan ethis, kebaikan dan kebahagian tempat bersemayannya keadilan. Maka ditahap ini keadilan mungkin merupakan salah satu persoalan utama bagi manusia sebagai ko eksistensi atas dirinya sendiri. Dalam kenyataannya di masyarakat, keadilan itu adalah perkara yang menjadi semakin terlalu abstrak untuk harus dicapai sebagai tujuan yang seolah-olah masih bisa dijangkau dalam kehidupan ini namun kenyataan berbanding terbalik.
Mengapa sampai banyak sekali orang melanggar hukum kendatipun hukum itu misalnya dikatakan adil ? kadang jawaban untuk itu begitu sederhana yaitu ketegaran dan keikhlasan hati manusia. Manusia kadang begitu angkuh dan berdalih bahwa ia memiliki Tuhan dan menyembah Tuhan, yang pada dasarnya Tuhan itu disembah dan dipuja secara ritual semata. Secar hakiki dan asasinya ia tidak mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, dan akal budinya. Ia tidak lagi mengasihi sesama manusia apalagi kalau itu seperti mengasihi dirinya sendiri, kasihnya ibarat gincu di bibir;merah dan manis, sekedar sedap dipandang dan dipuja manusia. Ia terkenal pandai berargumentasi, ayat-ayat kitab suci menggalir bagaikan sedang berdakwah, nyamuk ditapiskan dari dalam minumamnya, tetapi unta yang ada didalamnya ditelanya dengan lahap (J.E. Sahetapi,1991:13). Apakah untuk hal yang demikian, mungkin kalau ia seorang penegak hukum, pembuat aturan dan kebijakan atau pengambil keputusan di negeri kita Indonesia ini.
Kalau lah boleh kita mereprentasikan keadilan hukum itu dengan produk keadilan seperti putusan hakim dapat memainkan peranan besar dalam mempertegas dan meningkatkan rasa keadilan itu, sebagaimana yang dapat Hakim cerminkan dalam putusan-putusan pengadilan. Maka rasa keadilan yang dirumuskan hakim yang mengacu kepada pengertian-pengertian serta aturan-aturan yang baku dengan cara demikian dapat dipahami oleh masyarakat, yang pada giliranya berpeluang untuk ikut menghayati rasa keadilan yang dirumuskan oleh Hakim itu dalam keputusannya. Rasa keadilan yang diketengahkan Hakim dapat menjadi rasa keadilan yang juga dirasakan masyarakat. Rasa keadilan ini yang menjadi konsep sejatinya the rule of law, sebaliknya akan terjadi kesenjangan yang semakin menganga di antara rasa keadilan yang hidup dalam diri para Hakim (aparat penegak hukum) di satu sisi dan rasa keadilan yang dipahami oleh masyarakat luas di sisi lain. Maka jika dilihat demikian benarlah kepercayaan umum yang terdapat di dalam masyarakat berlaku kepercayaan umum bahwa Hakim adalah lambang dan benteng dari hukum yang harus dan ingin di hormati demi kepentingan mereka sendiri. Dapat juga beresiko pada bahwa masyarakat akan mengabaikan hukum jika jika Lembaga pengadilan yang di perankan oleh hakim menjadi Lembaga serta institusi yang hampa belaka bahkan menjadi Lembaga yang tidak dipercaya karena terlihat semakin besar kesenjangan antara rasa keadilan yang di Imani dan dia amini oleh Hakim khususnya (umumnya Sistem Peradilan), semakin besar pula pun tingkat ketidakpedulian dan ketidakpercayaan masyarakat kepada hukum yang tidak bersekutu dengan keadilan.
Kerinduan akan keadilan itu lahir karena naluri manusia yang merespon terhadap kenyataan kompleks keseharian sosial yang dihadapinya dan tak kunjung berhasil dikuasainya.”manusia itu terpenjara di antara persepsinya tentang hidup (Weltanschauung) dan persepsinya tentang keadilan”(Bernd Ruthers: 2009,176) karena itu kerinduan akan keadilan itu akan menjadi perjalan abadi yang nyaris tidak berujung, namun harus dijalankan hal ini sejalan dengan yang dikemukan Gustav Radbruch sorang filsuf terkemuka menjelaskan bahwa :’hukum itu adalah Hasrat kehendak untuk/demi mengabdi pada keadilan maka berkerjanya hukum itu adalah untuk mencapai ketertiban yang adil.
Karena hukum dan keadilan adalah dua hal yang harus di wujudkan dalam bingkai negara yang Pancasila ini, maka tugas Lembaga Pendidikan khususnya Universitas adalah harus mampu menciptakan manusia yang bernurani yang peka terhadap rasa bukan hanya menciptakan manusia yang teknikal dengan pembelajaran teknis yang jauh dari pemahaman awam, sehingga jangan sampai Pendidikan tinggi hukum justru secara tidak sadar memberi ruang yang semakin besar dan mengangga kepada para sarjana hukum sebagai outputnya untuk mendominasi pemaknaan tentang hukum dan keadilan dengan presfektif normative saja.
Negara hukum yang dimaknai oleh aparat penegak hukum, legislative dan eksekutif yang merupkan lulusan fakultas hukum tersebut jangan sampai menjadikan negara hukum di Indonesia menjadi jaring laba-laba yang hanya mampu menjerat nyamuk kecil tetapi Ketika dihadapakan dengan serangga besar dan kumbang jaring laba-laba tercabikkan (Ungkapan Anarcharsis Filsuf Yunani abad ke 7 SM).
Apa yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan ada yang salah dengan cara kita berhukum. Banyaknya peraturan dan Lembaga-lembaga negara justru tidak menyelesaikan persoalan, ada hal-hal yang bersifat subtantif yang justru terabaikan dan ada hal – hal kontesktual yang tidak diutamakan seperti yang dikemukan Satjipto Rahardjo. Seharusnya disinilah peran negara untuk mewujudkan negara hukum yang berkeadilan melalui dunia Pendidikan khususnya perguruan tinggi hukum karena sejatinya negara hukum yang adil itu perlu terus di hidupi dengan tidak hanya menciptakan good law terutama yang paling utama adalah Lembaga Pendidikan harus mampu menciptakan good man yang bernurani sehingga mampu menjelmakan norma yang dipostifkan tersebut dalam bingkai keadilan. Lewat prilaku yang otentik. Karena membangun hukum yang berkeadilan adalah tugas kita Bersama.
Herlita Eryke Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Jambi