SemarakPost.Com – Eksekusi putusan pengadilan terkait pengambilan aset First Travel oleh negara ramai diperbincangkan. Pasalnya, uang mereka harus dirampas oleh negara berdasarkan putusan kasasi Nomor : 3096 K/Pid.Sus/2018. Menanggapi hal itu, pakar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Garnasih merasa bingung dengan putusan hakim. Menurutnya, yang paling berhak atas aset tersebut adalah nasabah. “Uang itu uang siapa? Uang negara atau uang swasta atau masyarakat atau perorangan. Kalau uang negara kembali ke negara, kalau bukan uang negara yang harus ke pemilik awalnya,” kata Yenti kepada Kompas.com, Sabtu (16/11/2019).
Menurut hemat penulis kasus diatas merupakan salah satu contoh bahwa Hukum Acara Pidana Di Indonesia tidak terlalu memihak kepada kepentingan korban sehingga perlu adanya kajian yang menurut hemat penulis sebagai kajian perbandingan terkait Hukum Acara Pidana di Thailand mengatur secara berimbang antara kepentingan korban dan pelaku yang diatur didalam Hukum acara pidana di negeri gajah putih tersebut, tentunya penulis tetap memaklumi bahwa bahwa setiap negara memiliki sistem peradilan pidana yang berbeda-beda, sehingga terdapat banyak kekurangan maupun kelebihan dari sistem peradilan pidana masing-masing negara. Negara tidak dapat dikatakan bersalah jika sistem peradilan dari suatu negara memiliki banyak kekurangan di dalam pelaksanaannya, karena tidak ada hukum yang sempurna di dunia ini. Begitu pula kelebihan dan kekurangan dari ketentuan penuntutan di Indonesia dan Thailand.
Berdasarkan ketentuan penuntutan menurut hukum acara pidana Indonesia, yang berwenang melakukan penuntutan hanya jaksa penuntut umum yang disebut dengan asas dominus litis, (Andi Hamzah, 2001, Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta : Sinar Grafika) sehingga tidak ada pihak lain yang boleh melakukan penuntutan selain jaksa penuntut umum, oleh karena itu korban kurang diberdayakan dalam proses peradilan pidana sehingga masalah hak asasi korban seringkali terabaikan, karena jaksa penuntut umum yang merupakan pengacara dari korban seringkali tidak dapat memahami penderitaan yang dialami oleh korban akibat tindak pidana yang menimpa diri korban, maka jika dalam hal ini korban dapat diberdayakan dan dapat pula diberi kesempatan untuk menjadi bagian dalam proses peradilan pidana, seperti pada jenis penuntutan joint prosecutors seperti di Thailand, maka korban secara langsung dapat memperjuangkan keadilan atas dirinya dengan dibantu oleh jaksa penuntut umum yang memiliki pengetahuan dan dasar hukum yang bagus untuk mendampingi korban pada saat melakukan penuntutan sehingga jaksa penuntut umum dapat berempati terhadap penderitaan korban dan ikut memperjuangkan keadilan bagi diri korban serta tetap memperjuangkan keadilan bagi kepentingan umum, sehingga dengan tidak adanya kesempatan bagi korban untuk menjadi bagian dari proses peradilan pidana, aparat penegak hukum dalam hal ini jaksa penuntut umum dapat saja melakukan tindakan yang sewenang-wenang dengan alasan yang mengatasnamakan kepentingan publik.
Bahwa dalam Hukum Acara Pidana Di Indonesia tidak sepenuhnya benar tidak melakukan perlindungan terhadap korban dikarenakan didalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu pada Pasal 98, menyatakan “jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara ganti kerugian kepada perkara pidana itu”. Namun dalam kenyataannya penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dengan perkara pidana terhadap korban jarang sekali dilakukan oleh pihak korban dengan mengajukan permohonan kepada majelis hakim dan menurut hemat penulis kemungkinan tersebut dikarenakan kurangnya pemahaman hukum korban terkait mekanisme hukum acara pidana di Indonesia dan tidak ada kewajiban bagi penuntut umum didalam KUHAP untuk meminta hal tersebut kepada majelis hakim.
Menurut hemat penulis seharusnya yang dinyatakan dalam Pasal ini, adalah kata “wajib”, bagi jaksa penuntut umum sebagai wakil dari korban untuk melakukan penuntutan, sehingga sudah seharusnyalah jaksa penuntut umum memperhatikan masalah ganti kerugian tersebut, karena seperti yang terjadi pada prakteknya dalam hal ganti kerugian ini penuntut umum baru dapat melakukan gabungan perkara apabila korban telah meminta penggabungan perkara gugatan ganti rugi pada perkara pidana tersebut, jadi dapat dikatakan bahwa jaksa penuntut umum tidak memperhatikan masalah ganti kerugian ini.
Berdasarkan permasalahan diatas, penulis membandingkan bagaimana kelebihan dari ketentuan penuntutan di Thailand adalah bahwa pihak korban sangat diberdayakan sehingga hak asasi korban dapat diperjuangkan oleh korban itu sendiri dan juga oleh jaksa penuntut umum yang akan lebih memahami dan ikut merasakan penderitaan akibat suatu tindak pidana yang terjadi kepada korban dan disamping itu juga jaksa penuntut umum bisa tetap memperjuangkan kepentingan umum namun tidak melupakan kepentingan korban.
Mengenai bentuk penuntutan private prosecution dan joint prosecutors ini, apabila korban diberdayakan dan menjadi bagian dari proses peradilan pidana, maka akan mengacaukan sistem peradilan pidana itu sendiri, karena korban dalam hal ini memperjuangkan keadilan bagi dirinya secara emosional karena diberi kesempatan untuk balas dendam akibat tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka kepada dirinya, sehingga akan memicu terjadinya ketidakadilan bagi si tersangka pula dan keadilan akan bersifat subyektif atau individual justice, namun pengaturan yang terdapat di dalam Criminal Procedure Code Thailand mengenai joint prosecutors yang merupakan bentuk penuntutan gabungan antara korban dan jaksa penuntut umum, diatur dengan baik yakni berdasarkan Pasal 32 Criminal Procedure Code Thailand yang menyatakan bahwa :“Where a public prosecutor and an injured person become coplaintiffs in a case, if the public prosecutor is of an opinion that such injured person is likely to cause damage to the case by committing or omitting any acts during the proceedings of such case, the public prosecutor may file a motion requesting the Court to order the injured person to commit or omit such acts (Dimana seorang penuntut umum dan korban melakukan tuntutan bersama dalam sebuah kasus, jika penuntut umum mengeluarkan suatu pertimbangan dimana korban dikhawatirkan akan menyebabkan kerugian dalam kasus, dengan melakukan atau menghilangkan beberapa tindakan selama proses membawa kasus ke pengadilan berlangsung, penuntut umum boleh mengajukan permohonan berupa mosi kepada pengadilan untuk memerintahkan korban untuk melakukan atau menghilangkan tindakan tersebut)”.
Berdasarkan Pasal 32 Criminal Procedure Code Thailand ini, maka korban harus tunduk pada perintah penuntut umum selama menjalankan proses penuntutan agar proses penuntutan dapat berjalan sesuai dengan ketentuan yang ada dan baik kepentingan korban maupun kepentingan umum yang diwakilkan oleh penuntut umum dapat tercapai dengan seadil-adilnya, sehingga dengan adanya pengaturan seperti ini, korban tidak akan memperoleh kesempatan untuk melakukan hal-hal yang dapat merugikan kepentingan dirinya sendiri maupun kepentingan tersangka ataupun merusak jalannya persidangan.
Oleh karena itu, hal ini merupakan tugas jaksa penuntut umum untuk selalu mengawasi segala tindakan korban selama proses peradilan disamping mendampingi korban untuk memperjuangkan keadilan bagi diri korban, selain itu dengan diberikannya kesempatan kepada korban untuk tampil dalam proses peradilan pidana, dapat meminimalisasi penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum.
Berdasarkan uraian-uraian diatas tentunya penulis berharap menjadi kajian para akademisi, pembentuk undang-undang, dan seluruh pengambil kebijakan di Negeri ini dapat bersama-sama mencari solusi dan alternatif terbaik didalam pembentukan Hukum Acara Pidana Indonesia yang menselaraskan antara kepentingan dan perllindungan korban dan pelaku.
Disusun oleh : RUSYDI SASTRAWAN
Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Hukum Universitas Jambi
Nomor Pokok Mahasiswa : P3B120014
Mata Kuliah : Perbandingan Sistem Hukum
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Elita Rahmi, SH., MH
Respon (1)