Oleh :
RIKY MUSRIZA
(Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jambi)
FILSAFAT ILMU DAN LOGICAL FALLACY.
Logika merupakan sub cabang pembahasan yang sangat penting dalam pembelajaran Filsafat Ilmu.[1] Logika berasal dari kata bahasa Yunani Kuno Logos, yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Logika disebut juga dengan istilah Logike Episteme (bahasa latin : logica scintia) atau ilmu logika (ilmu pengetahun) yang mempelajari kecakapan untuk berfikir secara lurus, tepat, dan teratur. Ilmu sangat erat kaitannya dengan kemampuan rasional untuk mengetahui dan kecakapan mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahun ke dalam tindakan.[2]
Konsep dari bentuk Logis adalah inti dari Logika. Konsep itu menyatakan bahwa kebenaran dari sebuah argument sangat tergantung dari bentuk logisnya bukan dari isinya. Dengan demikian maka logika berperan sangat penting untuk melakukan analisis terhadap argument, yang merupakan hubungan antara kesimpulan dan bukti atau bukti bukti yang diberikan (premis).[3]
Terdapat dua dasar penalaran dalam logika, yang Pertama Penalaran Deduktif dan yang kedua Penalaran Induktif. Pertama Penalaran Deduktif atau logika dedukatif adalah penalaran yang membangun atau melakukan evaluasi argumen deduktif . Argumen dinyatakan deduktif jika kebenaran dari kesimpulan ditarik atau merupakan konsekuensi logis dari premis-premisnya. Argumen deduktif dinyatakan valid atau tidak valid bukan benar atau salah.[4] Sebuah argument deduktif dinyatakan valid jika dan hanya jika kesimpulannya merupakan konsekuensi logis dari premis-premisnya. Sebagai contoh :
- Setiap unggas beranak pinak dengan cara bertelur.
- Ayam beranak pinak dengan cara bertelur.
- Maka Kesimpulannya ayam adalah bagian dari
Kedua Penalaran Induktif atau sering disebut logika induktif. Penalaran Induktif adalah penalaran yang berangkat dari serangkaian fakta-fakta khusus untuk mencapai kesimpulan umum.[5] Sebagai contoh :
- Mobil Sport merk Ferari berharga lebih dari 1 Milyar
- Mobil Sport merk Lamborghini berharga lebih dari 2 Milyar
- Mobil Sport merk Jaguar berharga lebih dari 1 Milyar
- Setiap mobil sport berharga lebih dari 1 Milyar.
Sehingga dapat disimpulkan dalam Penalaran Deduktif : Jika semua premis benas maka kesimpulan pasti benar, semua informasi atau fakta pada kesimpulan sudah ada, sekurangnya secara implisit dalam premis.[1]
Sedangkan dalam Penalaran Induktif : Jika Premis Benar, keismpulan mungkin benar, tetapi tak pasti benar. Kesimpulan memuat infomrasi yang taka da, bahkan secara implisit dalam premis.[2]
Maka dengan demikian dalam membuat suatu argumentasi penalaran kegiatan yang sifatnya analitis maka kegiatan penalaran tersebut harus diisi dengan materi pengetahuan yang berasal dari suatu sumber kebenaran. apabila bersumberkan pada rasio atau fakta, maka kemudian dikenal sebagai paham rasionalisme. Sedangkan mereka yang menyatakan bahwa fakta yang tertangkap lewat pengalaman manusia merupakan sumber kebenaran, maka mereka mengembangkan paham empirisme.[3]
Dengan demikian, dalam proses penalaran guna mengambil kesimpulan atau keputusan, melalui suatu sistem logika dapatlah dirunut kebenarannya. Logika sebagai ilmu merupakan hukum berpikir berdasarkan kaidah-kaidah tertentu guna mencapai pola-pola pemikiran yang logis.[4] Dengan demikian, menurut Bernard Arief Sidharta, Logika sebagai bagian dari Filsafat memiliki tujuan yang akan dicapai, yaitu:[5]
- Membedakan cara berpikir yang tepat dari yang tidak tepat;
- Memberikan metode dan teknik untuk menguji ketepatan secara berpikir; dan
- Merumuskan secara eksplisit asas-asas berpikir yang sehat dan jernih.
Kesalahan dalam menyusun bahan-bahan pengolahan logika dengan mengabaikan pola-pola penalaran pada bidang disiplin tertentu, tentunya akan memunculkan suatu konklusi yang tidak sesuai dengan kelaziman berpikir pada disiplin ilmu tersebut. Penyimpangan dari pola-pola pemikiran tersebutlah yang kemudian dikenal dalam Logika, dengan istlah “kekacauan penalaran” atau “kesesatan berpikir” atau “sesat pikir” atau ada juga yang menggunakan istilah “kekeliruan berpikir” atau juga dikenal denga logical fallacy.[6] Dengan demikian untuk dapat mengetahui apakah suatu kesimpulan atau keputusan dari argumentasi tersebut mengandung unsur fallacy, maka argumentasi hendaknya dibangun dengan terlebih dahulu mengamati objek yang akan dikaji berdasarkan bidang disiplin ilmu yang menaunginya. Sehingga dapat ditarik
ke belakang berdasarkan lapisan logikanya, lapisan dialektikanya maupun lapisan proseduralnya.[1]
LOGICAL FALLACY ARGUMENTASI TERHADAP ISU PENEGAKAN HUKUM DI MEDIA SOSIAL.
Pada tahun 2021 berdasarkan laporan tertulis dari HootSuite dan Agensi Pemasaran Media Sosial We Are Social jumlah pengguna Internet di Indonesia telah mencapai 202,6 juta jiwa.[2] Jumlah ini meningkat 15,5 persen atau 27 juta jiwa jika dibandingkan pad Januari 2020. Artinya jika di presentasi pada awal 2021 jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 73,7 % dari total penduduk Indonesia.[3] Aktivitas dengan menggunakan Internet yang paling digemari oleh pengguna Internet Indonesia ialah media social. Saat ini ada 170 juta jiwa orang Indonesia yang merupakan pengguna aktif media sosial. Mereka rata rata menghabiskan waktu 3 jam 14 menit dari platform jejaring sosial.[4]
Fakta fakta terkait adanya peningkatan pengguna Internet dan Media Sosial juga telah mempengaruhi dinamika kehidupan masyarakat yang ditandai dengan kebebasan personal dalam menyampaikan argumentasi dapat dijumpai setiap jam, setiap hari melalui berbagai variasi media sosial yang digunakan. Penyampaian argumentasi di sosial media tak jarang kemudian menimbulkan konflik. Hal ini disebabkan dalam media sosial semua orang dapat menyampaikan argumentasi terhadap berbagai isu termasuk salah satunya isu penegakan hukum yang dengan sangat cepat dan massif dapat mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap proses pengakan hukum yang sedang terjadi.
Isu penegakan hukum merupakan isu yang sangat menarik dibahas diberbagai media termasuk media social. Isu-isu penegakan hukum akan selalu mendapatkan respon yang tinggi dari pengguna media sosial. Namun celakanya banyak isu penegakan hukum yang akhir akhir ini dibangun atas logika dan penalaran yang salah (Logical Fallacy). Salah satu yang akan di bahas mengenai fenomena Logical Fallacy tersebut adalah argumentasi seputar isu penegakan hukum yang disebakan oleh sebuah akun Media Sosial dengan jumlah pengikut mencapai 20 ribuan. Akun media sosial memaparkan sebuah argumentasi dengan menggunakan Meme yang membandingkan penanganan perkara terpidana korupsi Djoko Tjandra dan penanganan perkara pencurian kulit kayu manis yang terjadi di Kabupaten Temanggung. Adapun maksud dari postingan tersebut untuk menunjukkan kesimpulan bahwa terpidana Djoko Tjandra menerima vonis lebih ringan dibandingkan dengan perkara tindak pidana umum yang kerugiannya tergolong kecil. Adapun narasi yang dibangun sebagai berikut :
Terkait argumentasi dalam postingan tersebut perlu diketahui bahwa vonis 3,5 tahun penjara yang diterima Djoko Tjandra baru dari satu perkara pidana saja, selain itu pidana yang ditampilkan dalam postingan hanya pidana penjara saja tanpa mencantumkan akumulasi pidana denda Rp.100 juta.[1] Selain itu hukuman 3,5 tahun penjara tersebut baru dari salah satu perkara saja yaitu terkait penyuapan penghapusan Red Notice dan pengurusan Fatwa Mahkamah Agung (MA) saja. Sementara hukuman Djoko Tjandra dalam dua perkara pidana lain tidak dicantumkan. Antara lain perkara Korupsi Cessie Bank Bali dengan hukuman 2 tahun penjara denda Rp.15 Juta subsidiar 3 bulan kurungan dan pembayaran pidana tambahan uang pengganti sebesar Rp.546 Juta[2]. Kemudian perkara menyuruh melakukan pemalsuan surat secara berlanjut dihukum selam 2 tahun 6 bulan.[3] Sehingga total pidana penjara yang dijatuhkan kepada Djoko Tjandra sesungguhnya adalah 8 tahun penjara ditambah pidana denda dan pidana tambahan pembayaran uang pengganti.
Sementara untuk tindak pidana pencurian kayu manis di temanggung belum ada vonis sama sekali karena baru dilakukan penyidikan pada bulan Agustus 2021.[4] Selain itu juga terminologi pidana penjara 5 tahun dan denda Rp.5 Milyar yang ditulis dalam narasi merupakan “ancaman pidana” yang berarti maksimal pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada para tersangka dan bukan merupakan pidana yang pasti akan diterima oleh para tersangka. Sementara postingan tersebut sudah terlanjur membentuk opini masyarakat dibuktikan dengan psotingan tersebut telah disukai 300 ratusan orang dan dikometari puluhan orang dengan sebagian besar komentar yang membenarkan argumentasi pemilik akun media sosial tersebut.
Demikian juga halnya dengan gambar narasi perbandingan antara hukuman Nenek Minah yang didakwa mencuri buah Kakao yang dibandingkan dengan hukuman Jaksa Pinangki yang dibuat oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) dan diunggah di akun media social Twitter. Adapun narasi yang dibangun sebagai berikut :
Terkait argumentasi ICW dalam postingan tersebut terdapat berberapa logical fallacy, antara lain. Pertama terkait hukuman Pinangki yang seharusnya selama 510.417 tahun penjara yang dilakukan konversi terhadap lamanya hukuman nenek Minah adalah suatu hal yang tidak dapat diterapkan dalam system hukum di Indonesia. Mengingat dalam hukum pidana Indonesia tidak mengenal metode konversi hukuman sebagaimana yang diutarakan dan dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mengatur batas maksimal pidana penjara sementara waktu maksimal hanya 20 tahun penjara. Kedua, ICW dalam argumetasinya tidak secara utuh menjelaskan vonis terhadap nenek Minah yang di tulis selama 1 bulan penjara, padahal dalam kenyataannya nenek Minah terbukti melakukan tindak pidana umum pencurian dan divonis penjara 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan.[1] Maksud dari hukuman percobaan tersebut, nenek Minah tidak perlu dipenjara selama 1 bulan 15 hari apabila selama 3 bulan tidak melakukan perbuatan pencurian lagi.
Kedua Jaksa Pinangki dijatuhi vonis selama 4 tahun penjara sesuai dengan fakta perbuatan tindak pidana korupsi dan pencucian uang yang termasuk dalam kategori tindak pidana khusus dan termasuk kategori Extraordinary Crime yang ancaman pidananya pasti lebih berat dari ancaman pidana tindak pidana umum. Namun dalam gambar tersebut ICW tidak menjelaskan kepada masyarakat bahwa Jaksa Pinangki juga dijatuhi Pidana Denda sebesar Rp.600.000.000.,- subsidiair 6 bulan kurungan ditambah perampasan terhadap hartanya sebagai hasil dari tindak pidana pencucian uang.[2] Membandingkan antara perkara tindak pidana umum dan perkara tindak pidana khusus dapat dikategorikan sebagai kekeliruan atau salah dalam mengambil analogi
(fallacy of false analogy). Kekeliruan tersebut timbul karena telah menganalogikan dua permasalahan yang kelihatannya mirip tetapi berbeda secara mendasar.[1]
Dalam berbagai kasus biasanya berberapa orang yang memiliki penalaran terbatas dengan tidak sengaja menggunakan logical fallacy. Namun selain itu banyak juga orang orang yang memiliki pengetahuan yang cukup dalam biang keilmuan sebagaimana yang dilakukan oleh ICW sengaja menggunakan logical fallacy untuk memperkuat argumen, mempengaruhi orang lain ataupun melakukan sebuah pembenaran. Akibat langsung dari penggunaan logical fallacy dapat menghambat masyarakat dalam mengetahui kebenaran. Sebagian besar masyarakat kurang berfikir kritis akan terus ditempatkan pada keadaan manipulatif terhadap isu kebijakan penegakan hukum oleh orang-orang yang sudah ahli dalam berdialek dan menggunakan retorika. Argumentasi yang mengandung logical fallacy tersebut dapat menjadikan penggunaan media sosial kearah perubahan sosial yang negatif serta menimbulkan konflik.
Terkait maraknya fenomena tersebut maka disarankan kepada masyarakat untuk lebih selektif dalam menggunakan media sosial dengan lebih cermat dalam memahami isu yang sering dikembangkan lewat media sosial. Selain itu juga pemerintah melalui kementerian yang terkait menangani persoalan komunikasi dan informasi untuk lebih giat meluruskan informasi dan argumentasi yang bersifat logical fallacy yang dapat mempengaruhi opini masyarakat terhadap berbagai persoalan publik. Karena pada gilirannya argumentasi ‘sesat’ yang dibiarkan tersebut akan menurunkan kepercayaan dan kewibawaan terhadap pemerintah.
REFERENSI :
Bernard Arief Sidharta, Pengantar Logika. Sebuah Langkah Pertama Pengenalan Medan Telaah, Bandung: Refika Aditama, 2014
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Logika : Asas Asas Penalaran Sistematis, Yogyakarta : Penerbit Kanisius 1996,
Khudzaifah Dimyati, Pemikiran Hukum. Konstruksi Epistemologis Berbasis Budaya Hukum Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, 2014
https://id.wikipedia.org/wiki/Logika
https://simple.wikipedia.org/wiki/False_analogy
https://news.detik.com/berita/d-1244955/mencuri-3-buah-kakao-nenek-minah-dihukum-1-bulan-15-hari