SemarakPost.Com | Jakarta – Dalam upaya memutus mata rantai penularan COVID-19, maka penerapan praktik 3T (tracing, testing, treatment) dan 3M (menggunakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak) sangatlah penting.
Penasihat Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menkomarinvest), Monica Nirmala dalam Dialog Produktif bertema Optimisme Masyarakat terhadap 3T yang diselenggarakan Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), Kamis (12/11/2020) menjelaskan bahwa 3T terdiri dari pemeriksaan atau deteksi dini (testing), pelacakan (tracing), dan perawatan (treatment).
“Testing yaitu pemeriksaan atau deteksi dini, mengapa itu penting karena dengan kita terdeteksi dini COVID-19 maka kita bisa mendapat perawatan yang cepat juga, ga menunggu parah baru berobat gitu. Lalu juga dengan kita tau lebih awal dengan deteksi ini juga, kita jadi bisa menghindari atau mencegah penularan atau kita yang menularkan ke orang lain. Kemudian istilah yang kedua yaitu tracing kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia pelacakan kontak erat. Artinya adalah ketika ada seseorang yang positif COVID-19 maka akan ada petugas kesehatan yang menghubungi pasien tersebut lalu mewawancaranya. Lalu dalam proses wawancara tersebut akan ditanya dalam beberapa hari terakhir itu ketemu dengan siapa, atau berkontak dengan siapa. Kontak yang sudah diidentifikasi ini kemudian akan dihubungi oleh sipetugas tadi agar orang yang kontak erat tadi boleh melakukan karantina dirumahnya masing-masing atau difasilitas yang telah disediakan pemerintah. ,” jelas Monica.
Jika kemudian selama melakukan karantina si pasien kontak ini mengalami gejala, makan akan di tes kembali sebagaimana prosedur awal, yaitu testing.
“Kemudian yang ketiga adalah treatment atau perawatan. Nah perawatannya ini dalam bentuk isolasi. Ini juga menjadi hal yang penting untuk dilakukan pengobatan secara dini tadi,” tambah Monica.
Disamping itu Monica juga menyampaikan bahwa praktik 3M banyak membicarakan tentang peran seseorang sebagai individu. Sementara 3T berbicara tentang bagaimana kita memberikan notifikasi atau pemberitahuan pada orang di sekitar kita untuk waspada. Jadi memang ada satu proses yang tidak hanya melibatkan individu tapi juga orang yang lebih banyak.
Sementara itu, Managing Director IPSOS Indonesia, Soeprapto Tan mengemukakan masih ada 29% masyarakat yang tidak paham mengenai 3T. Sebaliknya, 99% masyarakat mengaku paham terhadap 3M.
“Jadi terkesannya itu , 3M dan 3T adalah dua hal yang terpisah padahal seharusnya ini kan jadi satu paket dalam memutus mata rantai penularan virus corona,” sampai Soepapto.
Hal tersebut terjadi bisa dikarenakan dari awal sampai sekarang kampe 3M terus dilakukan. Dan memang jika dalam pelaksanaannya 3M tidak berjalan marah 3T akan lebih parah. Oleh karena itu saat ini perlu disuarakannya 3T setelah 3M.
Soeprapto juga mengemukakan salah satu faktor yang menghambat kampanye 3T adalah ketakutan atas stigma masyarakat. Pemerintah perlu mengimbau masyarakat agar tidak mengucilkan pasien positif COVID-19, namun memberikan dukungan dan keprihatinan agar stigma negatif di mata publik bisa menghilang. Sama halnya dengan yang dikatakan oleh Monica.
“Jadi kita kalau melawan Covid, kita harus melawan ketakutannya itu sendiri,” singkat Monica.
Soeprapto juga menegaskan jika vaksin COVID-19 nantinya sudah ditemukan dan bisa didistribusikan, perilaku 3M dan 3T harus tetap dijalankan.
“Kalau misalkan mendapatkan vaksin Mei atau Juni (2021), kebiasan terhadap 3M dan 3T harus tetap kita jalankan sampai pemerintah benar-benar memberikan informasi bahwa COVID-19 sudah tidak ada”, tegas Soeprapto.
“Saat ini 3M masih satu-satunya cara “vaksin” paling ampuh. Jadi kita harus konsisten dan jangan lengah untuk melakukan 3M. Bersamaan dengan itu kita semua serta masyarakat harus mendukung pelaksanaan 3T, terutama dalam hal testing. Karena apabila masyarakat tidak mau melakukan testing, maka tracing tidak akan terjadi”, tutup Soeprapto. (San)